Pembaharuan Pemikiran Qa>sim Ami>n
Oleh:
Fatmawati*
“Perbaikan keadaan suatu bangsa tak mungkin terwujud
tanpa memperbaiki kedudukan wanita”. (Qa>sim
Ami>n)[1]
A.
Pendahuluan
Pada penghujung abad ke-19 muncul gerakan emansipasi wanita di Mesir
mengikuti gerakan Nasionalisme Mesir. Kedua gerakan ini lahir akibat kontak dan
konfrontasi dengan peradaban modern dari Barat. Kehadiran orang Eropa di Mesir
sewaktu ekspedisi Napoleon dan pendudukan Inggris serta lemahnya sebagian
adat-istiadat di Mesir menyebabkan lahirnya kesadaran bangsa Mesir untuk
memperbaiki posisi dan jati dirinya dalam berhubungan dengan Barat. Tampaknya
kemerdekaan nasional adalah jawaban bagi dominasi Barat. Namun untuk mencapai
tujuan ini, perlu perbaikan dan pembaharuan masyarakat. Perbaikan kedudukan
wanita adalah bagian dari pembaharuan ini. [2]
Perbaikan kedudukan wanita dimaksudkan untuk membebaskannya dari belenggu
adat-istiadat yang sudah berlangsung selama berabad-abad. Beberapa kalangan
terpelajar Mesir merasa terpanggil untuk mengubah sebagian adat-istiadat yang
merendahkan martabat wanita. Di antara mereka adalah Qa>sim Ami>n,
seorang pengikut Muhammad Abduh yang menyadari perlunya perbaikan kedudukan
wanita dengan membebaskannya dari belenggu-belenggu adat-istiadat yang bertentangan
dengan ajaran asli dari al-Qura>n dan Sunnah Nabi. Dia menegaskan bahwa
“Perbaikan keadaan suatu bangsa tak mungkin terwujud tanpa memperbaiki
kedudukan wanita”.[3]
Pada tahun 1899 ia menerbitkan bukunya yang berjidil Tah}ri>r
al-Mar’ah (emansipasi wanita) untuk menuntut penghapusan “adat hijab” yang
berbeda dengan hakikat hijab dalam Islam. Dia pun menuntut agar kaum wanita
mendapat pendidikan dan pengajaran yang layak sejajar dengan yang diperoleh
kaum pria supaya mereka dapat dengan baik membina masyarakat dan keluarganya.
Selain itu dia juga menuntut perubahan dalam praktek poligami dan perceraian
yang dianggapnya merugikan kaum wanita. [4]
Tidaklah mengherankan bila anjuran emansipasi wnaita dari Qa>sim Ami>n
ini mendapat kecaman dan serangan dari kalangan ulama dan beberapa tokoh
Nasional Mesir. Di samping pihak yang mendukung dan menyetujui anjurannya itu.
Qa>sim Ami>n menjawab kecaman dan kritikan itu dengan menulis buku al-Mar’at
al-Jadi>dah. Dalam buku keduanya ini dikemukakannya contoh-contoh
perbandingan antara wanita Mesir dan wanita Eropa dan wanita Amerika.[5]
Emansipasi wanita merupakan suatu gerakan sosial
dalam masyarakat untuk meningkatkan kualitas diri
perempuan menuju kehidupan yang lebih layak dan menjadi bagian integral dalam kehidupan masyarakat. Qa>sim Ami>n merupakan salah seorang tokoh Muslim yang memiliki perhatian besar terhadap masalah perempuan, dalam hal ini emansipasi. Qa>sim Ami>n berupaya menyelaraskan ajaran Islam di tengah-tengah masyarakat, bahwa Islam selama ini sering dipahami secara keliru
oleh pemeluknya terutama masalah perempuan.
Sebenarnya
ide emansipasi yang mencetuskan pertama kali adalah Rifa>‘at Al-T}aht}a>wi. tetapi pemikir
yang mempunyai perhatian besar untuk membicarakan hal itu lebih mendasar
adalah Qa>sim Ami>n.[6]
Emansipasi adalah kata yang berasal dari bahasa Inggris “emancipate”
yang mengandung pengertian dasar memerdekakan, membebaskan. Dengan pengertian
dasar tersebut dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan emansipasi adalah
sebuah upaya untuk memerdekakan atau membebaskan sesuatu atau seseorang yang
tidak merdeka, tidak bebas. Perempuan dikaitkan dengan emansipasi berakar dari
persepsi bahwa kehidupan perempuan selama ini berada di bawah laki-laki. Oleh
karena itu perempuan pun dapat diperlakukan apa saja yang dikehendaki
pemiliknya. [7]
B.
Biografi Qa>sim Ami>n
Qa>sim Ami>n lahir di negeri Thurah di pinggiran kota Kairo pada
tahun 1277 H/1861 M. Ayahnya bernama Muhammad Bek Ami>n, keturunan Turki,
bekerja sebagai tentara yang didatangkan dari Iraq ke Mesir. Ibunya wanita
Mesir dari Al-S{a‘id. Qa>sim Ami>n menempuh pendidikan dasar di
Madrasah ra’s al-ti>n di Iskandariah, setelah itu ia masuk sekolah
menengah madrasah al-Tajhiziyyu>n di Kairo. Tamat dari sini, ia melanjutkan
studi di sekolah tinggi hukum (madrasah al-h}uqu>q), dan memperoleh
ijazah lesence pada tahun 1298 H/1881 M. Setelah itu ia bekerja di
kantor pengacara Mustafa Fahmi di Kairo, dan kemudian berangkat ke Perancis
untuk mendalami ilmu hukum di Universitas Montpellier.[8]
Selama di Perancis, ia tetap mengikuti perkembangan situasi di Mesir
sehubungan dengan usaha kaum nasionalis Mesir untuk mengambil alih pemerintahan
dari kekuasaan asing. Kaum nasionalis yang digerakkan oleh Urabi Pasya berhasil
menguasai pemerintahan dari tangan Turki. Tetapi Inggris yang merasa
kepentingannya di Mesir terancam, segera menyerbu Mesir dan mengalahkan gerakan
Urabi Pasha, kemudian menduduki Mesir. Beberapa pemimpin revolusi Urabi Pasha,
seperti Muh}ammad ‘Abduh ditangkap dan
diasingkan ke Paris. Qa>sim Ami>n membantu Muh}ammad ‘Abduh mempelajari Bahasa Perancis.
Selain berkawan dengan ‘Abduh, Qa>sim Ami>n juga berkenalan dengan
Jamaluddi>n al-Afgha>ni yang diusir oleh Khedewi Taufiq dari Mesir atas
tekanan Inggris. Karena itu, ia juga membantu penerbitan majalah al-‘urwah al-wuthqa>
di Paris yang hanya terbit selama beberapa bulan, sebab dibredel oleh
penguasa penjajah.
Qa>sim Ami>n
kembali ke Mesir pada tahun 1302 H/1885 M. ia diangkat menjadi hakim pada al-Mah}kamah
al-Mukhwalat}ah. Kemudian setelah berpindah-pindah di beberapa kota sebagai
hakim, ia diangkat menjadi mustashar (hakim agung) pada mah}kamah
al-Isti‘naf pada tahun 1309 H/ 1892M. Pada tahun 1900 M,
ia mendirikan organisasi sosial Islam (al-Jam‘iyah al-khayriyah
al-Isla>miyah).[9]
Qa>sim Ami>n adalah seorang pemikir yang tenang, seorang patriot dan
nasionalis yang berfaham Islam. Selain sebagai hakim yang ulung, ia juga
seorang sastrawan yang mengahayati makna keindahan dalam alam, musik dan
berbagai kesenian. Ia mendapat pendidikan Arab dan pendidikan Perancis, karena
itu ia berusaha memadukan yang baik antara budaya Perancis dan Arab dengan
tetap merujuk kepada ajaran Islam.[10]
C.
Karya-karya Qa>sim Ami>n
Sepulang dari Perancis, Qa>sim Ami>m menulis sejumlah makalah di
surat kabar al-Mu‘ayyad terbitan Mesir.
Dalam makalahnya, Qa>sim Ami>n membantah pemberitaan pihak asing yang
memojokkan tradisi Arab tentang hijab sebagai sebab kemunduran perempuan.
Menurutnya, tradisi hijab sebagai gambaran tata krama, sopan santun, dan akhlak
mulia. Tradisi ini dipraktikkan agar tidak berhias di depan laki-laki dan
membatasi diri bertemu dengan laki-laki kecuali berkenaan dengan hal-hal yang
sangat penting. Ratu Na>z}il Fa>d}il tersinggung atas isi makalah Qa>sim
Ami>n, lalu ia meminta teman Qa>sim Ami>n yaitu Muh}ammad ‘Abduh agar memberikan pengerian kepada Qa>sim Am>in agar berhenti
menggambarkan realitas negatif perempuan Mesir, tetapi berusaha memperbaiki
kondisinya. [11]
Muh}ammad ‘Abduh menyampaikan pesan ratu kepada Qa>sim Ami>n
bahwa perempuan Mesir tidaklah seperti yang digambarkan Qa>sim Ami>n
dalam makalah-makalahnya. Bahkan Muh}ammad ‘Abduh mengajaknya
bergabung di klub yang didirikan oleh ratu. Di sanalah Qa>sim Ami>n
menyaksikan perempuan yang berbeda. Dia menyaksikan perempuan cerdas mampu
berbicara dengan Bahasa Perancis, Inggris, Turki, dan Arab seperti kemampuan
salah satu anaknya. Dia menyaksikan perempuan memiliki daya nalar yang modern,
mampu mendialogkan problematika perempuan dan negaranya secara keseluruhan,
mampu mendiskusikan buku-buku asing atau pandangan-pandangan intelektual Barat
yang pernah mengunjungi Mesir. Setelah keluar dari klub, ia beranggapan bahwa
perempuan Mesir dapat maju melebihi perempuan Perancis yang pernah disaksikannya
dengan syarat diberikan pendidikan yang benar. Qa>sim Ami>n mulai menulis
makalah yang menyerukan pembebasan perempuan dari kebodohan dan pentingnya
pendidikan bagi mereka (makalah tersebut pertama kali dimuat dalam surat kabar al-Mu‘ayyad )yang kemudian dikumpulakn menjadi sebuah buku Tah}ri>r
al-Mar’ah yang diterbitkan tahun 1899.[12] Dalam Tah}ri>r
al-Mar’ah (Pembebasan Perempuan) Qa>sim Ami>n lebih menekankan pada
ide pembebasan perempuan dari belenggu diskriminasi dari kungkungan subordinasi.[13] Qa>sim Ami>n
mencoba membuka kran-kran penyumbat kemajuan umat dengan menghilangkan tradisi
subordinasi laku-laki terhadap perempuan. Metode yang digunakannya pun lebih
menitikberatkan pada reinterpretasi al-Qura>n dan hadith yang seakan-akan selalu
melegitimasi adanya sistem patriarkhi dalam masyarakat. [14]
Sedangkan buku keduanya yang termasuk magnum opus, al-Mar’ah
al-Jadi>dah (Perempuan Modern) yang diterbitkan tahun 1901 berbeda
dengan karya pertamanya. Qa>sim Ami>n mengembangkan dan memperkuat ide-ide
pokok dalam karya sebelumnya.[15] Setelah kaum perempuan
tercerahkan dengan ide-ide pembebasan (liberalisasi), Qa>sim Ami>n
memulai memperjuangkan pemberdayaan perempuan. Di sini Qa>sim Ami>n
terlihat aktif menyerukan urgensi pendidikan perempuan.
Dalam buku keduanya ini Ami>n tidak menjadiakan al-Quran dan shariah
sebagai dasar argumennya lagi melainkan ilmu-ilmu pengetahuan dan pemikiran
sosial dari pemikiran Barat Modern, dan nama pemikir terkemuka, Herbert
Spencer, muncul lebih dari sekali.
Standar penilaian sekarang adalah konsep-konsep besar abad ke-19 M:
kebebasan, kemajuan, dan peradaban. Kebebasan artinya kemerdekaan manusia dalam
berpikir, berkehendak, bertindak, sepanjang ia masih dalam batasan-batasan
hukum dan menghormati moralitas, dan ia tidak tunduk di luar batas-batas itu
pada kehendak orang lain. Inilah landasan dan kriteria dari semua bentuk
kebebasan lainnya. Bilamana perempuan bebas, warga negara pun menjadi bebas;
dan argumen-argumen yang digunakan untuk melawan kebebasan perempuan, sama
persis dengan yang digunakan untuk melawan kebebasan manapun –sebagai contoh,
kebebasan pers. Ketika masyarakat manusia mengalami kemajuan, demikian pula
halnya dengan hak-hak kaum perempuan.[16] Terdapat empat pokok
dalam proses ini:
a.
Keadaan dunia ketika perempuan bebas;
b.
Periode pembentukan keluarga, ketika perempuan benar-benar ditundukkan;
c.
Pembentukan masyarakat sipil, ketika sejumlah haknya diakui tetapi ia tidak
diperbolehkan melaksanakan hak-hak itu oleh tirani laki-laki;
d.
Periode peradaban yang sejati, ketika perempuan memperoleh seluruh haknya
dan dengan sendirinya memiliki kedudukan yang sama sebagaimana laki-laki.
Negara-negara Timur berada
pada tahap ketiga, sedangkan negara-negara Eropa berdapa pada tahap keempat:[17]
Lihatlah negara-negara Timur; kita akan mendapati bahwa perempuan menjadi
budak laki-laki dan laki-laki menjadi budak penguasa. Laki-laki adalah penindas
rumah tangganya, menindas lantas cepat-cepat meninggalkannya. Kemudian,
lihatlah negara-negara Eropa; pemerintahan mereka berdasarkan pada kebebasan
dan penghormatan terhadap haak pribadi, dan kedudukan kaum perempuan terangkat
ke tingkat yang tinggi dengan penghormatan serta kebebasan berpikir dan
bertindak.
Dari kedua karyanya ini, ditemukan relevansi pemikiran-pemikirannya, dari pembebasan
perempuan melalui kritik tradisi sosial agama dan budaya, menuju perempuan
modern yang berdaya dan tidak bisa diperdaya. Pemikiran Qa>sim Ami>n yang
pertama masih berbau teks-teks agama, sedangkan karya keduanya. Ia ingin
merekontruksi sosial setelah mendekonstruksinya.[18]
D.
Ide-ide Pembaharuan Qa>sim Ami>n
Menurut Qa>sim Ami>n umat Islam mundur karena kaum wanita, dengan
logika bahwa separuh penduduk Mesir yang terdiri dari kaum wanita tidak pernah
mendapat pendidikan sekolah, padahl pendidikan wanita tidak hanya untuk
kepentingan mengatur rumah tangga saja, tetapi lebih jauh untuk dapat
memberikan pendidikan dasar kepada anak-anak. Maka berangkat dari kesimpulan
inilah Qa>sim Ami>n melontarkan ide-ide pembaharuannya untuk mengangkat
martabat kaum wanita. Di samping ide pendidikan, ia juga melontarkan ide
kebebasan dan hak monogami wanita. Di antara ide-ide tersebut antara lain:
1.
Pendidikan wanita
Qa>sim Amin menjelaskan bahwa wanita itu sama seperti
pria, tidak ada perbedaan bila dilihat dari segi anggota badan, tugas,
perasaan, pemikiran, dan hak kemanusiaan. Kalaupun ada perbedaan antara
keduanya, itu hanyalah perbedaan jenis kelamin.[19]
Qa>sim Amin mencoba mengembangkan ide-ide dasar
tentang bagaimana memberikan pendidikan kaum wanita yang telah diletakkan oleh
al-Taht}awi, dan di satu sisi ia ingin menerjemahkan ide-ide cemerlang dari
gurunya Muh}ammad ‘Abduh.
Pendidikan bagi kaum wanita merupakan sesuatu yang sangat
penting dalam rangka memajukan suatu bangsa, baik ditinjau dari statusnya
sebagai anggota masyarakat ataupun sebagai ibu rumah tangga.
Nazira Zein ed-Di>n, seorang teolog perempuan yang
luar biasa dalam hal ini juga sepakat dengan Qa>sim Ami>n. Dia juga
mengutip dari apa yang dikatan oleh Qa>sim Ami>n[20]:
Dengan dipotongnya sayap-sayap mereka, kepala tertunduk
dan mata tertutup. Bagi laki-laki merupakan kebebasan dan bagi perempuan
merupakan perbudakan. Bagi laki-laki merupakan pendidikan, sedang bagi
perempuan merupakan ketidakpedulian. Bagi laki-laki adalah pemikiran yang
sehat, sedangkan bagi perempuan merupakan pemikiran yang rendah mutunya. Bagi
laki-laki merupakan terang benderang dan ruang terbuka, sedangkan bagi
perempuan merupakan kegelapan dan keterbelakangan. Bagi kaum laki-laki adalah
perintah, sedangkan bagi perempuan adalah ketaatan dan kesabaran. Bagi
laki-laki segala sesuatu ada di alam ini, sedang bagi perempuan, sebagiannya
telah dirampok oleh laki-laki.
Wanita menurutnya tidak mungkin dapat mengurus rumah
tangga dengan baik kecuali dengan bekal ilmu pengetahuan, setidak-tidaknya ilmu
mesti mengetahui pengetahuan yang diberikan kepada pria. Dengan bekal
pengetahuan dasar ini ia dapat memilih sesuatu yang sesuai dengan perasaannya
dan dapat berbuat penuh keyakinan.
Dengan mengetahui baca tulis, wanita dapat memahami berbagai
ilmu pengetahuan, seperti geografi, sejarah, biologi, dan IPA, sehingga diri
wanita penuh dengan bekal ilmu-ilmu tersebut. Melalui bekal pengetahuan mereka
tentang aqidah dan peradaban agama maka intelektualitas mereka siap untuk
menerima pendapat-pendapat yang rasional dan mereka sanggup melepaskan diri
mereka dari kubangan khurafa>t dan kebat}ilan yang telah menyerang wanita.[21]
Dari pernyataan Qa>sim Ami>n di atas dapat dipahami
bahwa rupanya tidaklah terlalu ideal gagasan yang ia kemukakan tentang
pendidikan wanita. Qa>sim Ami>n waktu itu tidaklah mengharapkan agar
pendidikan wanita betul-betul sejajar dengan pendidikan pria dalam semua
jenjang pendidikan, akan tetapi paling tidak ada persamaan pada pendidikan
dasar. Agaknya Qa>sim Ami>n mendambakan agar kaum wanita Mesir mendapat
pendidikan formal walaupun setingkat sekolah dasar. Jika mereka sudah mendapat
pendidikan formal maka paling tidak mereka akan mampu mengatur rumah tangga,
mampu mendidik anak-anak dengan baik dan meninggalkan dogma yang telah
membelenggukan mereka. Menurut pendapatnya adanya persepsi-persepsi masyrakat
yang berkembang pada saat itu tentang pendidikan wanita tidaklah dibenarkan.[22]
Qa>sim Ami>n ingin membawa umat Islam ke arah
kemajuan dengan jalan memberikan pendidikan bagi kaum wanita sebagai bagian
dari anggota masyarakat yang terpisahkan. Sebagian anggota masyarakat bila
tidak diberikan pendidikan, maka mereka tidak akan dapat berpartisipasi dalam
berbagai aspek kehidupan, bahkan barangkali akan menjadi beban sosial. Sebagai
ibu rumah tangga diharapkan mampu mendidik anak-anak dan mendampingi suami,
mampu menciptakan rumah tangga yang harmonis dan saling pengertian.[23]
Pendidikan semestinya tidak diarahkan hanya pada
manajemen rumah tangga yang benar, tetapi harus memiliki tujuan lain yang lebih
penting, yaitu mempersiapkan kaum perempuan supaya mampu mencari nafkah mereka
sendiri. Inilah satu-satunya jaminan yang nyata terhadap hak-hak perempuan.
Kecuali mampu manafkahi diri sendiri, perempuan akan selalu bergantung pada
belas kasih tirani laki-laki, apa pun hak yang diberikan oleh hukum kepada
mereka, sehingga ia harus memiliki kekuatan untuk melindungi diri sendiri
dengan sarana tidak langsung. Pendidikan akan mengakhiri tirani, dan dengan
demikian, juga akan mengakhiri cadar dan pingitan terhadap perempuan.[24]
Jika kita telaah ke belakang melihat pada sejarah, kenapa
sejarah pendidikan perempuan mengalami keterputusan sejarah sehingga tertinggal
jauh dari pendidikan laki-laki? Padahal dulunya banyak sekali tokoh-tokoh
perempuan yang muncul dalam lembaran sejarah dunia Islam, khususnya pasca masa
Rasulullah SAW. dan para sahabat Nabi.
Tokoh perempuan dalam bidang keilmuan diantaranya; bidang
fiqih (‘Amra binti ‘Abdurrah}ma>n [98H/716M], H{afs}ah binti Sirrin
[100H/718M], ‘Aishah binti T{alh}ah , Ummu al-Bani>n ‘Atikah), bidang hukum (Ummu ‘Isa binti Ibrahi>m [328H/939M], ‘Amah al-Wah}id
[377H/987M], Fat}i>mah dari Samarkand [6H/12M], ‘Ain al-Sham binti
Ah}mad [610H/1213M], Ummu al-Baqa’ Khadi>jah binti al-H{asan [641H/1243M],
Ummu Zaina>b Fat}imah binti Abbas [714H/1314M], Ummu al-‘Izz Nudar binti Ah}mad [702-730H/1302-1329M], ‘Aishah binti ‘Ali [761-840H/1359-1436M], Ummu Hani Maryam [778-871H/1376-1466M], ‘Aishah al-Ba‘uniyah [922H/1516M], Khadi>jah binti Muh}ammad
al-Bailuni [930H/1523M], Zubaidah binti As‘a>d (1194H/1780M]). [25] Selain fiqih, banyak juga
wanita yang ahli bersyair, hadith, dan tasawuf.[26]
Dari sini dapat kita ambil kesimpulan, bahwa sesungguhnya
Islam sendiri telah mengangkat harkat dan martabat wanita yang pada zaman
Jahiliyyah dihina. Muh}ammad SAW. sangat memahami tentang wanita.
Untuk itu, Ami>n memcoba merumuskan beberapa strategi dan prinsip
pendidikan yang di tawarkan Amin adalah:
a.
Perempuan harus di beri pendidikan dasar yang setara dengan laki-laki,
tujuanya untuk mendapat generasi yang tanggap dan selektif dalam menerima
pendapat yang datang dari luar, maka perlu di berikan pengetahuan yang layak
yang diberikan di sekolah menengah.
b.
Selanjutnya harus diberikan pendidikan
intelektual yaitu studi tentang ilmu pengetahuan dan seni. Ini untuk menjamin
seseorang agar terbiasa dengan esensi kehidupan dan tempat didalamnya, agar ia
bisa menunjukkan tingkah lakunya terhadap segala sesuatu yang bermanfaat dan
dapat menikmati faedah dari ilmu pengetahuan dan hidup dengan bahagia.
c.
Pendidikan Akhlak dan budi pekerti juga harus di berikan sedini mungkin
perempuan dapat menanamkan jiwa kemanusiaanya, pergaulan dalam keluarga dan
kerabat menjadi lebih sempurna
d.
Pendidikan yang ideal menurut Ami>n adalah pendidikan
yang berlangsung seumur hidup, karena pada hakikatnya pendidikan adalah proses
belajar yang tidak boleh berhenti.[27]
2.
H{ijab atau Jilbab
Cara berpakaian kaum wanita yang menutup seluruh tubuh
menurut Qa>sim Ami>n adalah adat istiadat yang menghambat kemajuan
wanita. Cara berpakaian yang demikian mereka namakan h}ijab. Ia
berpendapat bahwa menutup muka bagi wanita tidak berdasarkan dalil agama,
al-Quran dan hadith. Dalam al-Quran dan hadith tidak terdapat ajaran yang
mengatakan bahwa wajah wanita merupakan aurat dan oleh karena itu harus
ditutup. Penutup wajah (cadar) adalah kebiasaan yang kemudian dianggap ajaran
Islam. Demikian juga soal pemisahan wanita dalam pergaulan, tidak terdapat di
dalam al-Quran dan hadith. Penutupan wajah dan pemisahan wanita membawa kepada
kedudukan rendah dan menghambat kebebasan dan pengembangan daya-daya mereka
untuk mencapai kesempurnaan.[28]
Pertama-tama harus menilik apa yang sesungguhnya
dikatakan oleh al-Quran dan shari‘ah mengenai pokok bahasan ini. Ami>n berpendapat bahwa
tidak terdapat larangan yang umum dan tegas mengenai kaum perempuan yang
membuka wajah mereka; ini adalah perkara yang diserahkan pada kenyamanan dan
kebiasaan, dan jelas bahwa tidak nyaman bagi perempuan untuk memelihara hak-hak
mereka dan menjalankan peran mereka di masyarakat dari balik cadar. Sebagai
contoh, bagaimana mereka dapat membuat perjanjian dan melaksanakan urusan
hukum? Perempuan yang memakai cadar tidak dengan sendirinya memelihara
kebajikan; sebaliknya beberapa jenis cadar membangkitkan hasrat birahi.[29]
Bila kita perhatikan ayat al-Quran yang berkenaan dengan
cara berpakaian wanita dalam surat al-Nu>r ayat 31[30], maka tidak terdapat
keterangan bahwa wanita dalam berpakaian harus berjilbab, masalah aurat wanita
dalam berpakaian harus berjilbab, masalah aurat wanita dan cara menutupnya
belum ada batasan shar‘i yang tegas. Maka
dalam kaitan ini Harun Nasution menegaskan seperti yang dikutip oleh Ris’an
Rusli, di dalam al-Quran tidak dijelaskan aurat itu yang mana “illa>
ma> z}ahara minha>”, “wa la> yubdi>na zi>natahunna”
itu apa? zi>nat itu apa? zi>nat itu arti aslinya perhiasan. Perhiasan itu
emas dan segala macam itu, tapi kemudian ulama mengatakan bukan itu yang
dimaksud, yaitu bagian tubuh wanita yang menarik bagi lelaki. Timbulnya
pertanyaan, manakah bagian tubuh wanita yang menarik bagi lelaki? Akan berbeda
sesuai dengan perbedaan masyarakatnya. Apa yang bagi orang Arab sudah sangat
menggugah, bagi lelaki Barat belum apa-apa. maka ulama-ulama berbeda pendapat.
Ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan aurat itu adalah dua alat vital
itu. Selainnya, bukan aurat. Karena itu ada yang berpendapat yang wajib menutup
itu saja, tidak perlu ditutp seluruhnya. [31]
Ketika Qa>sim Ami>n melontarkan gagasannya tentang
hijab atau jilbab ini orang beranggapan bahwa ia menolaknya, namun sebenarnya
bukanlah demikian yang diinginkannya. Ia selalu mempertahankan hijab dan
memandangnya sebagai salah satu prinsip dasar etika yang harus dipegang. Cuma
dia menginginkan hijab yang sesuai dengan ketentuan syariat Islam. Menurutnya
kita terlalu berlebih-lebihan dalam menetapkan hijab wanita.[32]
3.
Perkawinan
Kritik awal yang dilontarkan oleh Qa>sim Ami>n
dalam persoalan perkawinan ini adalah tentang definisi nikah yang telah
dibakukan ulama:
الزواج بأنه عقد يملك
به الرجل بضح اطرأة
Definisi seperti ini menurutnya membawa efek negatif,
seolah-olah perempuan itu dinikahi oleh laki-laki untuk tujuan istimta‘ (bersedapan biologis) semata, tidak
terdapat dalam definisi tersebut kata-kata yang mengandung makna kewajiban
moral atas suami untuk menjalin rasa cinta kasihnya kepada istri.
Qa>sim Ami>n mengajukan bahwa ada ayat al-Quran
yang pantas untuk dijadikan definisi nikah, yaitu surat al-Ru>m ayat 21:
ô`ÏBur
ÿ¾ÏmÏG»t#uä
÷br&
t,n=y{
/ä3s9
ô`ÏiB
öNä3Å¡àÿRr&
%[`ºurør&
(#þqãZä3ó¡tFÏj9
$ygøs9Î)
@yèy_ur
Nà6uZ÷t/
Zo¨uq¨B
ºpyJômuur
4
¨bÎ)
Îû
y7Ï9ºs
;M»tUy
5Qöqs)Ïj9
tbrã©3xÿtGt
ÇËÊÈ
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia
menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung
dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan
sayang. Sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang
berfikir.
Dalam kandungan ayat tersebut, terkandung makna keharusan
sang suami untuk menggauli istrinya dengan jaliinan kasih sayang.
Islam memberikan hak yang sama kepada laki-laki dan
perempuan dalam masalah perkawinan. Dalam syariat Islam tidak ada ajaran yang
mengacu pada perendahan derajat kaum wanita, malah sebaliknya, sang suami
diperintahkan untuk menumpahkan kasih sayangnya terhadap istri dan
keluarganya.untuk pembelaan hak wanita ini ia ajukan beberapa argumen di
antaranya, Q.S. an-Nisa>’ ayat 14 dan Q.S>. al-Baqarah ayat 228.[33]
Jika wanita sudah memahami hak-haknya dan merasa punya
harga diri, maka pada saat itu perkawinan merupakan sarana untuk merealisasikan
kebahagiaan suami-istri.[34]
Dalam hal ini, Qa>sim Ami>n menentang sepihak,
yaitu dari pihak pria dalam soal perkawinan. Menurut pendapatnya, wanita harus
diberikan hak yang sama dengan pria dalam memilih jodoh. Oleh karena itu ia
menuntut supaya istri diberi hak cerai. Sungguhpun poligami disebut dalam
al-Quran, ia berpendapat bahwa Islam pada hakikatnya menganjurkan monogami.[35]
Poligami menurutnya merupakan sikap merendahkan kaum
perempuan, tak seorang perempuan pun yang rela berbagi suami dengan perempuan
lain, dan jika seorang laki-laki mengambil istri kedua, itu bisa terjadi dengan
mengabaikan keinginan dan perasaan istri pertama. Dalam beberapa keadaan
poligami diperbolehkan, sebagai contoh, jika istri pertama menjadi gila atau
tak bisa punya anak, tetapi bahkan lebih baik jika laki-laki tidak menggunakan
haknya, bersikap baik, dan menahan diri. Tentu saja tak bisa diingkari bahwa
al-Quran secara khusus memperbolehkan poligami, tetapi meskipun demikian juga
memberi peringatan akan bahayanya.[36]dan Qa>sim Ami>n
mengikuti Thah}t}a>wi dan ‘Abduh dalam menempatkan tekanan pada syarat itu, dan
menunjukkan bahwa laki-laki pada kenyataannya sama sekali tidak mampu berbuat
adil kepada semua istrinya.
Perceraian juga dibolehkan dalam kasus yang tidak dapat
dielakkan, tetapi pada dasarnya perceraian dibenci. Sebaiknya menahan diri
sebisa mungkin dari perceraian, dan hanya memilih jalan ini jika tak
terelakkan. A>min memikirkan secara khusus mengenai perceraian yang
dibuat-buat yang dipraktikkan di bawah hukum Islam karena alasan keuangan atau
alasan-alasan lainnya. Jika perceraian dipraktikkan dengan segala cara, kaum
perempuan harus memiliki hak yang sama untuk menuntut perceraian sebagaimana
laki-laki.[37]
Dalam masalah talak, Qa>sim Ami>n menjelaskan bahwa
talak tersebut sama halnya dengan poligami, yang hanya dibolehkan karena dalam
kondisi terpaksa atau karena alasan-alasan yang dapat dibenarkan oleh hukum
Islam. Sedangkan hukum asalnya adalah mah}z}u>r, dalam konteks ini
dia mengatakan:
إن الطلاق محظور في نفسه مباح للضرورة
Selanjutnya ia mengatakan bahwa banyak dalil yang
menunjukkan tentang hal ini, di antara Q.S. an-Nisa>’ 19[38] dan sebuah hadith yang
berbunyi:
أبغض الحلال عند الله الطلاق
Dari kritikan yang diajukan Qa>sim Ami>n tentang
masalah perkawinan dapat dipahami bahwa upaya yang ia ajukan adalah demi
meningkatkan martabat wanita dan membatasi sikap monopoli kaum pria. Oleh sebab
itu ia mengajukan konsep undang-undang perkawinan, khusunya mengenai masalah
talak.[39]
4.
Perempuan dan Bangsa
Menurut Ami>n bangsa mesir perlu menghimpun kekuatan untuk mengimbangi
kekuatan asing terutama kekuatan non materi, berupa landasan dari segala
kekuatan. Untuk menjelaskan hal ini, Ami>n mencoba meminjam kerangka Darwin,
dengan menyebutkan bahwa survei masyarakat
tidak hanya terkait tinggi rendahnya nilai keagamaan dan akhlaq yang mereka punyai, tetapi juga
sejauh mana kesiapan masyarakat dalam
menerima tingkah laku perkembangan itu sendiri.
Jika ilmuan beranggapan bahwa agama merupakan penyebab kemunduran umat
islam, maka amin dengan tegas menolak pendapat ini. Karena tubuh umat islam
telah di rasuki berbagai bid‘ah itu saja tidak cukup untuk menjelaskan ketertinggalan
umat islam. Penyebab paling mendasar menurut Ami>n adalah meluaskan
kebodohan di kalangan mereka yang di sebut Amin sebagai penyakit sosial yang berbahaya
dalam sebuah masyarakat. Untuk itu perlu mempersiapkan generasi yang lebih
baik.[40]
E.
Antara Indonesia dan Mesir
Ada kemiripan perjuangan perempuan menuju kesetaraan gender di Indonesia
dan Mesir. Kedua negara mulai memperjuangkan hak-hak perempuan sekitar akhir
abad ke-19 dan awal abad ke-20 yang diprepresentasikan oleh Qa>sim Ami>n
dan Muh}ammad ‘Abduh di Mesir dan R.A. Kartini di Indonesia. Kedua tokoh
ini melihat bahwa pendidikan adalah aspek utama yang harus digalakkan bagi
perempuan untuk meningkatkan martabatnya.[41]
Pada akhir abad ke-19 keadaan
perempuan di kegua negara ini tidak jauh berbeda. Perempaun Mesir harus hidup
dalam institusi h}ari>m, sementara di Indonesia dikenal dengan
istilah pingitan. Kedua term ini menunjukkan bahwa anak perempuan tidak
bebas seperti anak- laki-laki pada umumnya. Mereka harus tinggal di rumah dan
belajar untuk menjadi ibu rumah tangga.
Pada awalnya kedua wilayah
memperlakukan perempuan sederajat dengan laki-laki. Bahkan penghormatan mereka
terhadap perempaun sangat tinggi mengalahkan laki-laki. Bahkan sejarah
Indonesia dan Mesir mencatat bahwa banyak perempauan pernah menjadi raja sukses
dan dihormati rakyatnya. Hanya saja keadaan ini lambat laun berubah tanpa batas
terhadap laki-laki. Di indonesia hal ini disebabkan feodalisme yang diterapkan
di kerajaan mataram yang menjadikan istri sebagai simbol keperkasaan raja-raja.
Pada saat itulah perempuan beralih posisi dari subjek menjadi objek. Sementara
di Mesir perubahan itu terjadi saat lahirnya Undang-undang Filobatur (222 SM)
berisi larangan kepada perempuan untuk menjalankan aktifitas ekonomi dalam
masyarakkat dan keluarga, larangan kepada laki-laki untuk taat kepada perempuan
baik sebagi ibu, istri, atau anak, dan perubahan pola relasi matriarki menjadi
patriarki, melarang perempaun untuk bertanggungjawab atas dirinya dan
memberikan tanggungjawab itu kepada laki-laki.[42]
Status sosial masyarakat kedua
negara memiliki kemiripan. Kalangan menengah yang hidup di kotamereka dengan
ketat memberlakukan h}ari>m dan pingitan. Sementara kalangan desa,
anak perempuannya tetap membantu orangtuanya bertani atau berdagang di pasar
demi kelangsungan hidup.[43]
Pendirian sekolahpun pada
kedua negara, dari segi masa nampaknya bersamaan. Demikian pula mata pelajaran
yang diberikan perempuan di sekolah atau di rumah ada kemiripan antara
keduanya. Pelajaran yang diberikan adalah bahasa dan keterampilan yang dianggap
mendukung dirinya dalam rumah tangga.[44]
Perbedaan yang menonjol adalah
bahwa di Mesir perjuangan perempuan tersebut berbarengan dengan perlibatan
nilai-nilai agama sebagai pendukung basis perjuangan tersebut. Artinya, masa
Qa>sim Ami>n adalah masa awal perjuangan perempuan menuju kesetaraan
gender sekaligus masa itu dianggap sebagai masa kebangkitan tafsir gender. Hal
ini disebabkan perjuangan Qa>sim Ami>n tidak hanya diselesaikan melalui
pendekatan sosial tetapi juga melibatkan al-Quran dan Hadith sebagai basis
perjuangan. Hal ini berbeda dengan apa yang terjadi di Indonesia. Kartini yang
dianggap sebagai pejuang awal perempuan belum menjadikan agama (al-Quran dan
Hadith) sebagai solusi terhadap ketimpangan kaumnya. Meskipun keterlibatan
perempuan dalam peperangan merebut kemerdekaan sering dianggap sebagai
partisipasi umat Islam yang dominan di dalamnya, tapi realitas ini berbeda
dengan di Mesir.[45]
Selanjutnya adalah tabel yang menunjukkan bagaimana persamaan dan perbedaan
antara Mesir dan Indoensia.
Uraian
|
Indonesia
|
Mesir
|
Awal kebangkitan perempuan
|
Periode I : 21
April 1879
Periode II : 1991
|
Desember 1863
|
Tokoh
|
1.
Kartini, Dewi Sartika
2.
Nasaruddin Umar, Musdah Mulia
,Zaitunah Subhan
|
Qa>sim Ami>n dan Muh}ammad ‘Abduh
|
Kondisi sosial
|
Poligami, pingitan, pendidikan, kolonial, dan
patriarkat.
|
Poligami, h}ija>b/h}ar>im, pendidikan, kolonial,
dan patriarkat.
|
Masyarakat
|
1.
Priyayi: Poligami, pingitan dan terdidik
2.
Masyarakat biasa: terbelakang
|
1.
Menengah atas: poligami dan terdidik
2.
Masyarakat biasa; terbelakang
|
Bentuk perjuangan
|
1.
Menentang poligami dan patriarkat, menuntut pendidikan dan lapangan kerja
2.
Menuntut keterampilan dan pendidikan, lapangan kerja.
|
1.
Menentang poligami dan patriarkat, menuntut pendidikan dan lapangan kerja
2.
Menuntut keterampilan dan pendidikan, lapangan kerja.
|
Tafsir gender
|
1.
Sosial-sekuler
2.
Akademis-teologis
|
Sosial-teologis
|
Matriarki ke patriarki
|
Kerajaan Mataram
|
UU Filobatur (222 SM)
|
Sekolah perempuan
|
Mulai 1913
Mata pelajaran:
keterampialn, menulis, dan mebaca
|
Mulai 1873
Mata pelajaran:
keterampialn, membaca, bahasa Inggris dan Perancis
|
Penerbitan buku kesetaraan gender
|
1.
Habis Gelap Terbitlah Terang (1911)
2.
Argumen kesetaraan Gender (1999), Tafsir Kebencian (1999), menggugat
poligami (1999)
|
1.
Tah}ri>r al-Mar’ah (1899)
2.
Al-Mar’ah al-Jadi>dah (1901)
3.
Tafsi>r al-Mana>r[46]
|
Wanita adalah sama dengan pandangannya terhadap pria
dilihat dari segi kemanusiaan. Wanita adalah manusia dan priapun manusia,
masing-masing tidak berbeda dari segi kemanusiaannya, bahkan tidak ada
keistimewaannya bagi yang satu atas yang lainnya dari sudut ini, atas dasar
inilah pandangan islam terhadap pria dan wanita adalah sama.
Emansipasi artinya kemerdeekaan atau pembebasan,
sedangkan yang dikatakan dengan emansipasi wanita yaitu kemerdekaan atau
pembebasan bagi kaum perempuan dalam memperjuangkan hak kesetaraan dengan kaum
pria.
MenurutQasim, kebebasan kaum perempuan adalah masalah pertama
yang harus diperjuangkan. Karena bagaimanapun, kebebasan merupakan kekayaan termahal
bagi setiap manusia yang memiliki hak untuk merdeka dan bebas. Namun perlu menjadi
catatan, kebebasan yang ditekankan Qasim bukanlah kebebasan mutlak tanpa batas,
melainkan kebebasan yang dibatasi dengan kerangka syariat agama dan etika sosial.
Kondisi kaum perempuan pada waktu itu bisa disamakan dengan budak, karena budak
adalah orang yang terampas kemerdekaan dan hak-haknya. Jangankan hak untuk memperoleh
pendidikan, kebebasan untuk berkehendak saja sudah sedemikian terkekang. Sehingga
ia tidak mempunyai kebebasan untuk berbuat lebih banyak, baik untuk dirinya sendiri,
keluarga dan masyarakatnya.
Gender adalah suatu konsep , rancangan atau nilai yang
mengacu pada sistem hubungan sosial yng membedakan peran dan fungsi antara
laki-laki dan perempuan yang dikerenakan
perbedaan biologis atau kodrat yang oleh masyarakat kemudian dibekukan menjadi
budaya dan seakan tidak bisa ditawar, ini yang tepat bagi laki-laki dan itu
yang tepat bagi perempuan.[47]
Kesimpulan
Setelah membahas tentang masa pemerintahan Mesir pada masa
Qasim Amin penyusun dapat menyimpulkan bahwa gagasan pembaharuan Amin ini
berasal dari ketidakpuasannya setelah ia
melihat realitas sosial; perempuan dan perlakuannya.
Untuk menyiapkan
kenyataan ini, Amin mencoba menawarkan alternatif pada tingkat intelektual dan
pada tingkat praktis sosial untuk alternatif yang pertama Amin menawarkan perlu
di lakukan upaya mengembalikan martabat seorang perempuan dan desakralitas untuk
perempuan sebagai jalan untuk
mewujudkan visi ideal islam tentang perempuan itu.
Disamping itu cara
ini juga di yakini Amin sebagai salah
satu cara untuk Mesir sebagai sebuah
negara.
Di lihat dari cara
kerja pembaharuannya, sepertinya Amin lebih cenderung menggunakan pendekatan kultur dalam mewujudkan
pikiran-pikiran pembaharuannya. Pendidikan dan pemberdayaan masyarakat
perempuan yang tidak bisa dipisahkan
dengan pemberdayaan masyarakat bangsa
secara umum sebagai jalan menuju citi-cita pembaharuannya.[48]
Daftar Pustaka
Hourani, Albert, Pemikiran Liberal di Dunia Arab, diterj: Suparno,
Dahrits Setiawan, dan Isom Hilmi, (Bandung: Mizan, 2004)
Kurzman, Charles, Wacana Islam Liberal, (Jakarta: Paramadina, 2001).
Hasan, Hamka, Tafsir Gender, [Jakarta: Badan Litbang dan Diklat
Departemen Agama RI, 2009].
Nasution, Harun, Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta:
Bukan Bintang, 2011).
Ilahi, Kurnial, Perkembangan Modern dalam Islam, (Pekanbaru: Yayasan
Pusaka Riau).
Ilahi, Kurnial, Emansipasi wanita menurut Qasim Amin, dalam jurnal:
Perempuan, Agama, dan Jender Marwah, Vol. 1, No. 2 Desember Th. 2001.
Rusli, Ris‘an, Pembaharuan Pemikiran Modern Dalam Islam, (Jakarta:
Rajawali Press, 2013).
Nizar, Samsul, Pendidikan Perempuan:
Kajian Sejarah yang Terabaikan, dalam jurnal Perempuan, Agama, dan Gender:
Marwah, Vol. VII, No. 2 Desember Th. 2008.
Erni, Sukma, Perempuan dan
Emansipasi, dalam jurnal Perempuan, Agama, dan Gender: Marwah, Vol. II, No.
4 Desember Th. 2003.
Zikwan, Emansipasi Wanita
Menurut Qa>sim Ami>n, dalam pdf, diunduh 28 mei 2014.
file:///D:/MATERI%20SEMESTER%204/PMDI/MAKALAH%20PPMDI%20AQ%20%20PERKEMBANGAN%20PEMIKIRAN%20MODERN%20DALAM%20ISLAM%20TENTANG%20EMANSIPASI%20WANITA%20DAN%20WACANA%20GENDER.htm diunduh, minggu, 21 juni 2014.
file:///D:/MATERI%20SEMESTER%204/PMDI/Makalah%20%20PEMBAHARUAN%20DI%20MESIR%20PEMIKIRAN%20PEMBAHARUAN%20MUHAMMAD%20ABDUH%20DAN%20QASIM%20AMIN.htm. Diunduh, minggu, 21 juni 2014
*penulis
adalah alumni Pondok Pesantren Modern Darussalam Gontor Putri 1. Kini menjadi
Mahasiswa di UIN SUSKA Riau Fakultas Tarbiyah Dan Keguruan jurusan Pendidikan
Agama Islam konsentrasi Quran Hadith.
[1] Kurnial Ilahi, Emansipasi Wanita menurut Qasim Amin, dalam
jurnal: Perempuan, Agama, dan Jender Marwah, Vol. 1, No. 2 Desember Th. 2001,
h. 2
[4] Kurnial
Ilahi, Emansipasi wanita menurut Qasim Amin,l dalam jurnal: Perempuan, Agama,
dan Jender Marwah, Vol. 1, No. 2 Desember Th. 2001, h. 2
[5] Kurnial
Ilahi, Emansipasi wanita menurut Qasim Amin, dalam jurnal: Perempuan, Agama,
dan Jender Marwah, Vol. 1, No. 2 Desember Th. 2001, h. 3.
[7]Sukma
Erni, Perempuan dan Emansipasi, dalam jurnal Perempuan, Agama, dan
Gender: Marwah, Vol. II, No. 4 Desember Th. 2003. 47.
[8] Kurnial
Ilahi, Perkembangan Modern dalam Islam, (Pekanbaru: Yayasan Pusaka
Riau), 244.
[13]Pembaharuan
dan gagasan Qa>sim Ami>n terhadap pendidikan dan poligami bukanlah hal
baru di
Dunia Arab atau Mesir. Al-T{aht}awi dan Muh}ammad ‘Abduh
telah menyuarakan 1870-1n dan 1880-an yang memicu kontroversi hebat. Kemarahan
dan kecaman yang disulut oleh karya Qa>sim Ami>n baru bisa dipahami
ketika orang mempertimbangkan bukan pembaharuan substantif bagi kaum perempuan
yang dianjurkannya melainkan pembaruan simbolis. Di samping itu, objek
pembaruan yang didengungkan adalah menyangkut aspek fundamental dalam
kebudayaan masyarakat Arab dan Mesir. (Lihat Hamka Hasan, Tafsir Gender,
96-97.)
[16]Albert
Hourani, Pemikiran Liberal di Dunia Arab, diterj: Suparno, Dahrits
Setiawan, dan Isom Hilmi, (Bandung: Mizan, 2004),
[25] Samsul
Nizar, Pendidikan Perempuan: Kajian Sejarah yang Terabaikan, dalam
jurnal Perempuan, Agama, dan Gender: Marwah, Vol. VII, No. 2 Desember Th. 2008,
131-133.
[26] Samsul
Nizar, Pendidikan Perempuan: Kajian Sejarah yang Terabaikan, dalam
jurnal Perempuan, Agama, dan Gender: Marwah,133-136.
[30] Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan
pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka Menampakkan perhiasannya,
kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain
kudung kedadanya, dan janganlah Menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami
mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka,
atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau
putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan
mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau
pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau
anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka
memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan
bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya
kamu beruntung.
[33]Dan Barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan
melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api
neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan. (Q.S.
an-Nisa>’ ayat 14). Dan
Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri
(menunggu) tiga kali quru'. tidak boleh mereka Menyembunyikan apa yang
diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari
akhirat. dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka
(para suami) menghendaki ishlah. dan Para wanita mempunyai hak yang seimbang
dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi Para suami, mempunyai
satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana. (Q.S. al-Baqarah ayat 228). (lihat Ris‘an Rusli, Pembaharuan
Pemikiran Modern Dalam Islam,141)
[35]Harun
Nasution, Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta:
Bukan Bintang, 2011), 70.
[36]Dan jika
kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang
yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang
kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat
Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki.
yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.(Q.S.
An-Nisa>’[4]: 3).
$ygr'¯»t[38] z`Ï%©!$# (#qãYtB#uä w @Ïts öNä3s9 br& (#qèOÌs? uä!$|¡ÏiY9$# $\döx. ( wur £`èdqè=àÒ÷ès? (#qç7ydõtGÏ9 ÇÙ÷èt7Î/ !$tB £`èdqßJçF÷s?#uä HwÎ) br& tûüÏ?ù't 7pt±Ås»xÿÎ/ 7poYÉit6B 4 £`èdrçÅ°$tãur Å$rã÷èyJø9$$Î/ 4 bÎ*sù £`èdqßJçF÷dÌx. #Ó|¤yèsù br& (#qèdtõ3s? $\«øx© @yèøgsur ª!$# ÏmÏù #Zöyz #ZÏW2 ÇÊÒÈ
19. Hai orang-orang yang beriman,
tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu
menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah
kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang
nyata. dan bergaullah dengan mereka secara patut. kemudian bila kamu tidak menyukai
mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, Padahal
Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.
[48]file:///D:/MATERI%20SEMESTER%204/PMDI/Kumpulan%20Makalah%20Pendidikan%20Agama%20Islam%20%20MAKALAH%20PMDI%20%28Pembaharuan%20Di%20Mesir%20Pada%20Masa%20Qasim%20Amin%29.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar